Mengapa Pendidikan Karakter islami sangat Penting ?

* Pendidikan yang diajarkan rosulullah adalah pendidikan berkarakter yang paling sempurna. karena Akhlaqul Karimah yang dimiliki nabi dapat merubah dunia. suatu perubahan terjadi karena Akhlaqul Karimah. mustahil kita merubah bangsa, merubah lingkungan, merubah pribadi seseorang, merubah anak didik kita dengan memaksa mereka berubah menurut keinginan kita. akan tetapi Akhlaqul karimah adalah kuncinya. Mengapa nabi Muhammad? karena Akhlaq nabi adalah AL-Qur'an. Wallahu A'lam.

Selasa, 08 Mei 2012

Karakter Mulia Rosulullah.

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin)
Sebagai agama yang ajarannya mencakup semua aspek kehidupan, Islam telah mengatur pula masalah pendidikan. Rasulullah n telah memberi teladan, apa & bagaimana memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak. Karenanya, adalah sebuah kemestian, seseorang yang menghendaki pendidikan anaknya membuahkan hasil terbaik utk meneladani Rasulullah n. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah & (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Pendidikan yang diajarkan Rasulullah n bukan dilandasi hawa nafsu. Tidak pula lantaran menjiplak model-model pendidikan yang berkembang di masa itu. Tapi, apa yang diajarkan benar-benar karena didasari wahyu. Allah l berfirman:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)
Bagi seorang muslim wajib hukumnya meneladani Rasulullah n, termasuk dlm masalah pendidikan. Islam tak akan menolerir model-model pendidikan yang meracuni anak didik dgn nilai-nilai kesyirikan, kekufuran, & kerusakan akhlak. Di tengah dahsyatnya gempuran berbagai model pendidikan yang dijejalkan kepada kaum muslimin, keharusan utk merujuk kepada apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah n adalah suatu yang sangat urgen (penting). Maka, tiada pilihan lain bagi seorang muslim kecuali menerapkan apa yang diajarkan Rasulullah n. Allah l berfirman:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; & bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7)
Bagaimana model pendidikan yang diterapkan Rasulullah n? Yang utama sekali ditanamkan adalah menyangkut masalah tauhid, mengenyahkan kesyirikan. Ajari & pahamkan anak dgn masalah tauhid. Lantaran misi menanamkan tauhid & memberantas kesyirikan inilah para rasul Allah l diutus kepada kaumnya. Nabi Nuh q diutus kepada kaumnya, misi utamanya adalah mendakwahkan & mendidik kaumnya dgn tauhid. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: ‘Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada ilah bagimu selain-Nya.’ Sesungguhnya (kalau kamu tak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).” (Al-A’raf: 59)
Begitu pula yang diserukan para nabiyullah yang lainnya, seperti Nabi Hud q yang diutus kepada kaum ‘Ad, Nabi Shalih q yang diutus kepada kaum Tsamud, & Nabi Syu’aib q yang berdakwah kepada penduduk Madyan. Semuanya mendakwahkan satu seruan, yaitu:
“Sembahlah Allah, sekali-kali tak ada ilah bagimu (yang berhak disembah) selain-Nya.” (Al-A’raf: 65, 78, 85)
Semua menyerukan kalimat yang sama: tauhid. Semua memberikan pendidikan & pengajaran kepada umatnya dgn kalimat yang satu, yaitu tauhid. Rasulullah n memberikan wejangan kepada Mu’adz bin Jabal z, yang kala itu hendak diutus berdakwah ke Yaman, juga agar mendidik penduduk Yaman dgn tauhid. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas c, dia berkata: “Rasulullah n bersabda kepada Mu’adz bin Jabal kala dia hendak diutus ke Yaman:
إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَاْدعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ
“Sesungguhnya engkau akan tiba pada suatu kaum dari ahli kitab. Maka jika engkau datang kepada mereka, dakwahilah kepada persaksian bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah, & bahwa Muhammad adalah rasulullah.” (HR. Al-Bukhari no. 4347)
Tauhid menjadi awal & dasar bagi pendidikan. Diungkapkan Ibnul Qayyim t, anak-anak yang telah mencapai kemampuan berbicara, ajarilah mereka (dengan menalqinkan) kalimat La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah. Jadikanlah apa yang diperdengarkan kepada mereka adalah tentang pengenalan terhadap Allah l (ma’rifatullah) & mentauhidkan-Nya. Didik juga anak-anak bahwa Allah l berada di atas ‘Arsy-Nya. Allah Maha Melihat terhadap mereka & Maha Mendengar terhadap apa yang mereka perbincangkan. Allah l senantiasa bersama mereka, di mana saja mereka berada. (Tuhfatul Wadud bi Ahkamil Maulud, hal. 389)
Segaris dgn hal di atas, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab t pun menekankan pula, bahkan mewajibkan, utk setiap muslim membekali diri dgn ilmu yang terkait dgn pengenalan terhadap Allah l. Disebutkan oleh Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri hafizhahullah, pengenalan terhadap Allah l meliputi perkara keberadaan-Nya, rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya, & asma wa shifat-Nya. (Ithaful ‘Uqul bi Syarhi Ats-Tsalatsatil Ushul, hal.
Kenalkanlah Allah l kepada anak-anak semenjak dini. Kenalkan melalui metode yang bersifat praktis & mudah dipahami anak-anak. Satu di antara metode itu adalah dgn tanya jawab (di atas). Sebagaimana Rasulullah n bertanya kepada seorang budak wanita. Hadits dari Mu’awiyah bin Hakam As-Sulami z, menceritakan metode dialog (tanya jawab) tersebut.
قَالَ: أَيْنَ اللهُ؟ قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ. قَالَ: مَنْ أَنَا؟ قَالَ: أَنْتَ رَسُولُ اللهِ. قَالَ: أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
“Rasulullah n bertanya: ‘Di mana Allah?’ Budak wanita itu menjawab: ‘Di (atas) langit.’ Rasulullah n bertanya kembali: ‘Siapa saya?’ Budak wanita itu menjawab: ‘Engkau adalah Rasulullah.’ Rasulullah n bersabda: ‘Bebaskan dia, karena sesungguhnya dia adalah wanita yang beriman’.” (Sunan Abi Dawud no. 930, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)
Demikian metode dialog yang mengalir lancar, ringan, menyentuh tanpa beban. Dialog yang lugas, tegas, menikam tajam ke dlm pusat kesadaran. Menggugah keyakinan, menumbuhkan keimanan nan makin kokoh.
Pengenalan terhadap Allah l sebagai Rabb bisa pula melalui metode pengenalan dgn ayat-ayat-Nya & makhluk-makhluk-Nya. Disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab t, bahwa apabila engkau ditanya, dgn apa engkau mengetahui Rabbmu. Maka jawablah: dgn ayat-ayat-Nya & makhluk-makhluk-Nya. Dari adanya ayat-ayat-Nya yang berupa malam & siang, matahari & bulan, para makhluk Allah l berada di langit yang tujuh & di bumi yang berlapis tujuh, serta makhluk-makhluk Allah yang berada di antara keduanya. (Syarh Tsalatsatil Ushul, Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 22)
Kata Asy-Syaikh Muhammad Aman Al-Jami t saat memberi penjelasan terhadap perkataan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab t di atas, “Mengapa dalil, tanda-tanda & ayat-ayat (dijadikan dasar) engkau mengetahui Rabbmu? Karena, sesungguhnya Allah l terhijab di dunia ini & Dia (Allah l) tak bisa dilihat. Ini berdasarkan hadits Nabi n:
فَإِنَّكُمْ لَنْ تَرَوْا رَبَّكُمْ حَتَّى تَمُوتُوا
“Maka sungguh kalian tak akan pernah bisa melihat Rabb kalian hingga kalian mati.” (Makna hadits ini terambil dari hadits yang diriwayatkan Al-Imam Muslim t dlm Shahih-nya no. 2931)
Dengan begitu, iman kepada Allah l termasuk iman terhadap yang gaib. Karena, sesungguhnya Allah l adalah gaib dari penglihatan & pandanganmu. Namun Dia ada bersamamu, tak gaib darimu dgn ilmu-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, maka Dia bersamamu. Inilah ma’iyyah khashshah atau ma’iyyah ma’nawiyah (kebersamaan secara maknawi), bukan hissiyah (inderawi). Adapun secara hissi (inderawi), Dia gaib dari dirimu. Karenanya, keimanan kepada Allah l termasuk iman pada hal yang gaib, yang membutuhkan tanda & dalil yang menunjukkan atas wujudullah (keberadaan Allah l). (Syarhu Tsalatsatil Ushul, Asy-Syaikh Al-’Allamah Muhammad Aman Al-Jami t, hal. 45)
Hikmah dari mencermati & mengamati segenap ciptaan Allah l, selain bisa memicu rasa ingin tahu anak, juga bisa diarahkan utk menumbuhkan keimanan kepada Allah l. Membangun kesadaran bahwa di balik semua ciptaan ini, ada yang mengatur, menjaga, memelihara & menghidupi, yaitu Allah k.
Katakan pula kepada anak, bahwa Allah l mencipta & mengatur setiap orang berbeda-beda. Tunjukkan karunia & nikmat yang telah dia rasakan. Ini sebagai upaya menumbuhsuburkan rasa syukur pada diri sang anak. Sikap syukur yang tertanam dlm diri anak diharapkan akan memupus sikap tamak, rakus. Memudahkan utk menumbuhkan sikap mau berbagi, membantu & menolong teman, dgn izin Allah l. Dengan sikap syukur ini pula diharap makin mendekatkan anak kepada Allah l & memupuk jiwa tawadhu’ (rendah hati) & tak takabur.
Perlihatkan pula kepada anak sederetan pedagang yang menjual barang dagangan yang sama. Masing-masing pedagang tak saling berebut pembeli & tak saling mematikan pesaing antara pedagang yang satu dgn yang lain. Mereka bersaing secara sehat. Masing-masing mereka mendapatkan rizki sesuai kadar yang telah Allah l tentukan utk mereka. Subhanallah! Sebuah fenomena yang memperkaya batin anak, mengasah kepekaannya & menumbuhkan keimanan dlm aspek tauhid rububiyah. Yaitu, tauhid yang menumbuhkan keyakinan bahwa sungguh Allah l itu Maha Pencipta, Maha Pemberi rizki, yang menghidupkan, yang mematikan & mengatur alam semesta ini. Dengan keyakinan semacam ini, anak tak perlu lagi risau, hasad, iri atau benci bila melihat temannya mendapatkan sesuatu. Dia berkeyakinan bahwa segala sesuatu itu telah ditentukan rizkinya oleh Allah l. Maka, pupuslah segala macam hasad, iri, benci di dlm hatinya. Kemudian terpancarlah dari diri anak akhlak nan mulia. Semua ini didasari tauhid yang lurus, bersih dari segala noda kesyirikan. Ibarat pohon, akarnya menghunjam kokoh ke dasar bumi, cabangnya menjulang menggapai angkasa raya, daunnya rimbun lebat meneduhkan suasana, & buahnya bermunculan di setiap musim. Allah l berfirman:
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh & cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dgn seizin Rabbnya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu utk manusia supaya mereka selalu ingat.”  (Ibrahim: 24-25)
Demikianlah pohon keimanan. Pokok akarnya kokoh di dlm hati seorang mukmin, secara ilmu & i’tiqad (keyakinan). Cabangnya berupa ucapan yang baik, amal shalih, akhlak yang disukai, adab (kesantunan) yang baik (yang mengarah) pada langit, yang senantiasa menapak ketinggian kepada Allah l. Dari pohon itu mencuat amal-amal & perkataan-perkataan yang membawa manfaat bagi seorang mukmin & yang lainnya. Itulah syajaratul iman (pohon keimanan). Ini dinyatakan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t dlm Taisir Al-Karimirrahman (hal. 451).
Karenanya, pendidikan tauhid ini harus benar-benar mendapat perhatian. Nabi Ya’qub q saat menjelang ajal menjemput masih tetap memerhatikan masalah tauhid terhadap anak-anaknya. Ini dilukiskan dlm Al-Qur`an:
“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab: ‘Kami akan menyembah Ilahmu & Ilah nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail & Ishaq, (yaitu) Ilah Yang Maha Esa & kami hanya tunduk patuh kepada-Nya’.” (Al-Baqarah: 133)
Pendidikan anak lainnya yang ditekankan Rasulullah n adalah membaguskan semangat anak utk beribadah kepada Allah l. Anak dihasung utk senantiasa melatih diri beribadah. Hingga pada masanya, anak tumbuh dewasa, dirinya telah memiliki kesadaran tinggi dlm menunaikan kewajiban ibadah. Di antara perintah yang mengharuskan anak dididik utk menunaikan yang wajib, seperti hadits dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dia berkata: Rasulullah n bersabda:
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِيْنَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Suruhlah anak-anak kalian menunaikan shalat kala mereka berusia tujuh tahun, & pukullah mereka (bila meninggalkan shalat) kala usia mereka sepuluh tahun, & pisahkanlah tempat tidur mereka.” (Sunan Abi Dawud no. 495. Asy-Syaikh Al-Muhammad Nashiruddin Al-Albani t menyatakan hadits ini hasan shahih.)
Yang dimaksud menyuruh anak-anak, meliputi anak laki-laki & perempuan. Mereka hendaknya dididik bisa menegakkan shalat dgn memahami syarat-syarat & rukun-rukunnya. Jika hingga usia sepuluh tahun tak juga mau menegakkan shalat, maka pukullah dgn pukulan yang tak keras & tak meninggalkan bekas, serta tak diperkenankan memukul wajah. (Lihat ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, 2/114)
Untuk mengarahkan anak tekun dlm beribadah memerlukan pola yang mendukung ke arah hal tersebut. Seperti, diperlukan keteladanan dari orangtua & orang-orang di sekitar anak. Perilaku orangtua yang ‘berbicara’ itu lebih ampuh dari lisan yang berbicara. Anak akan melakukan proses imitasi (meniru) dari apa yang diperbuat orangtuanya. Syariat pun sangat tak membuka peluang terhadap orang yang hanya bisa berbicara (menyuruh) namun dirinya tak melakukan apa yang dikatakannya. Allah l berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (Ash-Shaff: 2-3)
Dengan demikian, keteladanan sangat mengedepankan aspek perilaku dlm bentuk tindakan nyata. Bukan sekadar berbicara tanpa aksi.
Pendukung lainnya yang diperlukan agar anak tekun beribadah adalah mengondisikan lingkungan atau suasana ke arah hal itu. Manakala tiba waktu shalat, maka seluruh anggota keluarga menyiapkan diri utk shalat. Tak ada satu orang pun yang masih santai & tak menghiraukan seruan utk shalat. Kalau ada anggota keluarga yang tak bisa memenuhi segera seruan tersebut atau berhalangan, maka hal itu harus dijelaskan kepada anak. Sehingga anak memahami sebagai hal yang dimaklumi secara syar’i.
Pendukung lainnya, seperti pemberian hadiah manakala mau beribadah secara tekun, memberikan sanksi atau hukuman yang mendidik & menimbulkan efek jera bagi anak yang malas beribadah, menghilangkan hal-hal yang jadi penyebab anak malas ibadah, & lain-lain.
Pendidikan penting lainnya bagi anak yaitu membentuk kepribadian anak yang beradab. Tahu etika, sopan santun. Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t, al-adab yaitu akhlak yang menjadikan manusia santun (beretika) karenanya. Seperti, kemuliaan, keberanian, bagus kepribadian, lapang dada, raut wajah yang berseri-seri, & lain-lain. Jadi, al-adab adalah sebuah ungkapan tentang akhlak yang (bila) seseorang menghiasi dirinya dgn akhlak tersebut akan menjadi terpuji karenanya. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 2/979)
Saat seseorang berbicara tentang adab, maka sesungguhnya dia berbicara masalah akhlak. Adab & akhlak, satu hal yang tak ada perbedaan padanya. Akhlak terhadap Allah l adalah tak menyekutukan-Nya dgn sesuatu pun. Mentauhidkan-Nya dlm rububiyah, uluhiyah, & asma wa shifat. Seseorang yang berbuat syirik, senyatanya dia berbuat zalim yang besar. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Luqman: 13)
Akhlak seorang muslim terhadap Rasul-Nya n adalah tak lancang terhadap beliau n. Allah l berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah & Rasul-Nya & bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, & janganlah kamu berkata kepadanya dgn suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tak menyadari.” (Al-Hujurat: 1-2)
Diungkapkan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t bahwa ayat ini meliputi kandungan adab terhadap Allah l & Rasulullah n. Mengagungkan, menghormati, & memuliakannya. Allah l telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dgn perkara keimanan terhadap Allah l & Rasul-Nya n. Yaitu, menunaikan perintah-perintah Allah l & menjauhi larangan-larangan-Nya. (Sehingga) menjadikannya berjalan di belakang perintah-perintah Allah l & mengikuti Sunnah Rasulullah n dlm seluruh urusan mereka. Sikap mereka tak mendahului Allah l & Rasul-Nya n. Mereka tak berkata sampai beliau n berkata. Mereka tak menyuruh sampai Rasulullah n memerintahkan. Maka, sungguh inilah hakikat adab yang wajib terhadap Allah l & Rasul-Nya n, yang merupakan bentuk kebahagiaan seorang hamba & keberuntungannya. (Sedangkan apabila) bersikap melancanginya, dirimu akan meninggalkan kebahagiaan yang abadi & kenikmatan yang langgeng. Dalam ayat ini pun terkandung larangan yang keras mendahulukan perkataan (pendapat) selain Rasulullah n di atas perkataan beliau n. Maka, sesungguhnya tatkala telah terang Sunnah Rasulullah n, wajib utk mengikuti & mendahulukannya atas selainnya. (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 889)
Selain mendidik adab terhadap Allah l & Rasul-Nya n, anak mesti pula dididik utk memiliki adab terhadap sesama manusia. Dalam hal ini yang utama sekali mendidik akhlak anak terhadap orangtuanya. Mendidik agar anak berbuat baik kepada kedua orangtuanya, tak semata dgn memberikan asupan ilmu. Lebih dari itu, hendaknya seorang anak diberi ruang yang bebas utk membangun ikatan emosional dgn kedua orangtuanya, sekaligus sebagai media mempraktikkan ilmu yang didapatnya. Melalui interaksi & komunikasi yang sehat, diharapkan ikatan itu terbentuk sehingga anak memiliki rasa kepedulian terhadap orangtuanya. Bisa saja seorang anak memiliki ilmu yang cukup & paham tentang bagaimana harus birrul walidain (berbuat baik) kepada kedua orangtuanya. Namun manakala ikatan emosional ini tak dibangun & dibentuk sejak dini, jalinan kedekatan dgn orangtua pun bisa mengalami hambatan. Anak akan merasa kesulitan mengamalkan ilmu & pemahamannya. Kepekaannya menjadi tak tajam. Kepeduliannya pun tumpul. Padahal Allah l berfirman:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dlm keadaan lemah yang bertambah-tambah, & menyapihnya dlm dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku & kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Luqman: 14)
Orangtua atau pendidik yang baik, akan senantiasa memerhatikan masalah interaksi & komunikasi antara orangtua & anaknya. Mendidik bukan semata mentransfer ilmu kepada anak. Lebih dari itu, bagaimana anak tersebut mengamalkan ilmunya secara benar & berkesinambungan. Kerja sama & komunikasi yang baik antara orangtua, anak, & pendidik, di suatu lembaga pendidikan mutlak diperlukan. Karena anaknya sudah di pesantren, lantas orangtua tak mau peduli kepada anaknya. Tak pernah berkomunikasi & berinteraksi dgn sang anak. Ini adalah sikap tak tepat. Begitu pula lembaga pendidikan di mana sang anak menimba ilmu, bisa menjadi jembatan komunikasi antara orangtua & anak. Ini semua sebagai upaya menyongsong pendidikan anak yang lebih baik. Allah l berfirman:
“Dan tolong-menolonglah kamu dlm (mengerjakan) kebajikan & takwa.” (Al-Ma`idah: 2)
Hikmah yang bisa dipetik dari perintah mendidik anak utk shalat sejak usia tujuh tahun yaitu adanya penanaman ilmu tentang shalat itu sendiri, adanya proses pelatihan & pengondisian yang terus-menerus sehingga ritual shalat menjadi proses ibadah yang melekat kokoh pada anak. Begitu pula aspek pengamalan dlm masalah birrul walidain, selain penanaman ilmu, perlu proses melatih, mengondisikan, mendekatkan, & mengikatkan suasana emosional anak dgn orangtuanya. Kepedulian, perhatian & kasih sayang orangtua kepada anak merupakan nutrisi bagi ‘kesehatan’ jiwa anak. Sehingga diharapkan anak mengalami tumbuh kembang jiwa ke arah yang lebih baik. Lebih stabil secara emosional. Matang dlm bersikap & dewasa dlm menghadapi masalah. Tidak reaksioner, meletup-letup & kekanak-kanakan sehingga memperkeruh masalah yang ada. Nas`alullah as-salamah wal ‘afiyah. Wallahu a’lam.
Sumber: www.asysyariah.com Majalah AsySyariah Edisi 043

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SARAN DAN KRITIK SANGAT BERMANFAAT BAGI KAMI.