(ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin)
Sebagai agama yang ajarannya mencakup semua aspek kehidupan, Islam telah
mengatur pula masalah pendidikan. Rasulullah n telah memberi teladan,
apa & bagaimana memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak.
Karenanya, adalah sebuah kemestian, seseorang yang menghendaki
pendidikan anaknya membuahkan hasil terbaik utk meneladani Rasulullah n.
Allah l berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah &
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Pendidikan yang diajarkan Rasulullah n bukan dilandasi hawa nafsu. Tidak
pula lantaran menjiplak model-model pendidikan yang berkembang di masa
itu. Tapi, apa yang diajarkan benar-benar karena didasari wahyu. Allah l
berfirman:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
(An-Najm: 3-4)
Bagi seorang muslim wajib hukumnya meneladani Rasulullah n, termasuk dlm
masalah pendidikan. Islam tak akan menolerir model-model pendidikan
yang meracuni anak didik dgn nilai-nilai kesyirikan, kekufuran, &
kerusakan akhlak. Di tengah dahsyatnya gempuran berbagai model
pendidikan yang dijejalkan kepada kaum muslimin, keharusan utk merujuk
kepada apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah n adalah suatu yang
sangat urgen (penting). Maka, tiada pilihan lain bagi seorang muslim
kecuali menerapkan apa yang diajarkan Rasulullah n. Allah l berfirman:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; & bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7)
Bagaimana model pendidikan yang diterapkan Rasulullah n? Yang utama
sekali ditanamkan adalah menyangkut masalah tauhid, mengenyahkan
kesyirikan. Ajari & pahamkan anak dgn masalah tauhid. Lantaran misi
menanamkan tauhid & memberantas kesyirikan inilah para rasul Allah l
diutus kepada kaumnya. Nabi Nuh q diutus kepada kaumnya, misi utamanya
adalah mendakwahkan & mendidik kaumnya dgn tauhid. Allah l
berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata:
‘Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada ilah bagimu
selain-Nya.’ Sesungguhnya (kalau kamu tak menyembah Allah), aku takut
kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).” (Al-A’raf: 59)
Begitu pula yang diserukan para nabiyullah yang lainnya, seperti Nabi
Hud q yang diutus kepada kaum ‘Ad, Nabi Shalih q yang diutus kepada kaum
Tsamud, & Nabi Syu’aib q yang berdakwah kepada penduduk Madyan.
Semuanya mendakwahkan satu seruan, yaitu:
“Sembahlah Allah, sekali-kali tak ada ilah bagimu (yang berhak disembah) selain-Nya.” (Al-A’raf: 65, 78, 85)
Semua menyerukan kalimat yang sama: tauhid. Semua memberikan pendidikan
& pengajaran kepada umatnya dgn kalimat yang satu, yaitu tauhid.
Rasulullah n memberikan wejangan kepada Mu’adz bin Jabal z, yang kala
itu hendak diutus berdakwah ke Yaman, juga agar mendidik penduduk Yaman
dgn tauhid. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas c, dia berkata: “Rasulullah n
bersabda kepada Mu’adz bin Jabal kala dia hendak diutus ke Yaman:
إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَإِذَا جِئْتَهُمْ
فَاْدعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ
“Sesungguhnya engkau akan tiba pada suatu kaum dari ahli kitab. Maka
jika engkau datang kepada mereka, dakwahilah kepada persaksian bahwa
tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah, & bahwa Muhammad
adalah rasulullah.” (HR. Al-Bukhari no. 4347)
Tauhid menjadi awal & dasar bagi pendidikan. Diungkapkan Ibnul
Qayyim t, anak-anak yang telah mencapai kemampuan berbicara, ajarilah
mereka (dengan menalqinkan) kalimat La ilaha illallah, Muhammad
Rasulullah. Jadikanlah apa yang diperdengarkan kepada mereka adalah
tentang pengenalan terhadap Allah l (ma’rifatullah) &
mentauhidkan-Nya. Didik juga anak-anak bahwa Allah l berada di atas
‘Arsy-Nya. Allah Maha Melihat terhadap mereka & Maha Mendengar
terhadap apa yang mereka perbincangkan. Allah l senantiasa bersama
mereka, di mana saja mereka berada. (Tuhfatul Wadud bi Ahkamil Maulud,
hal. 389)
Segaris dgn hal di atas, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab t pun
menekankan pula, bahkan mewajibkan, utk setiap muslim membekali diri dgn
ilmu yang terkait dgn pengenalan terhadap Allah l. Disebutkan oleh
Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri hafizhahullah, pengenalan terhadap Allah l
meliputi perkara keberadaan-Nya, rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya, & asma
wa shifat-Nya. (Ithaful ‘Uqul bi Syarhi Ats-Tsalatsatil Ushul, hal.
Kenalkanlah Allah l kepada anak-anak semenjak dini. Kenalkan melalui
metode yang bersifat praktis & mudah dipahami anak-anak. Satu di
antara metode itu adalah dgn tanya jawab (di atas). Sebagaimana
Rasulullah n bertanya kepada seorang budak wanita. Hadits dari Mu’awiyah
bin Hakam As-Sulami z, menceritakan metode dialog (tanya jawab)
tersebut.
قَالَ: أَيْنَ اللهُ؟ قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ. قَالَ: مَنْ أَنَا؟ قَالَ:
أَنْتَ رَسُولُ اللهِ. قَالَ: أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
“Rasulullah n bertanya: ‘Di mana Allah?’ Budak wanita itu menjawab: ‘Di
(atas) langit.’ Rasulullah n bertanya kembali: ‘Siapa saya?’ Budak
wanita itu menjawab: ‘Engkau adalah Rasulullah.’ Rasulullah n bersabda:
‘Bebaskan dia, karena sesungguhnya dia adalah wanita yang beriman’.”
(Sunan Abi Dawud no. 930, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)
Demikian metode dialog yang mengalir lancar, ringan, menyentuh tanpa
beban. Dialog yang lugas, tegas, menikam tajam ke dlm pusat kesadaran.
Menggugah keyakinan, menumbuhkan keimanan nan makin kokoh.
Pengenalan terhadap Allah l sebagai Rabb bisa pula melalui metode
pengenalan dgn ayat-ayat-Nya & makhluk-makhluk-Nya. Disebutkan oleh
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab t, bahwa apabila engkau ditanya,
dgn apa engkau mengetahui Rabbmu. Maka jawablah: dgn ayat-ayat-Nya &
makhluk-makhluk-Nya. Dari adanya ayat-ayat-Nya yang berupa malam &
siang, matahari & bulan, para makhluk Allah l berada di langit yang
tujuh & di bumi yang berlapis tujuh, serta makhluk-makhluk Allah
yang berada di antara keduanya. (Syarh Tsalatsatil Ushul, Asy-Syaikh
Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 22)
Kata Asy-Syaikh Muhammad Aman Al-Jami t saat memberi penjelasan terhadap
perkataan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab t di atas, “Mengapa
dalil, tanda-tanda & ayat-ayat (dijadikan dasar) engkau mengetahui
Rabbmu? Karena, sesungguhnya Allah l terhijab di dunia ini & Dia
(Allah l) tak bisa dilihat. Ini berdasarkan hadits Nabi n:
فَإِنَّكُمْ لَنْ تَرَوْا رَبَّكُمْ حَتَّى تَمُوتُوا
“Maka sungguh kalian tak akan pernah bisa melihat Rabb kalian hingga
kalian mati.” (Makna hadits ini terambil dari hadits yang diriwayatkan
Al-Imam Muslim t dlm Shahih-nya no. 2931)
Dengan begitu, iman kepada Allah l termasuk iman terhadap yang gaib.
Karena, sesungguhnya Allah l adalah gaib dari penglihatan &
pandanganmu. Namun Dia ada bersamamu, tak gaib darimu dgn ilmu-Nya,
pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, maka Dia bersamamu. Inilah ma’iyyah
khashshah atau ma’iyyah ma’nawiyah (kebersamaan secara maknawi), bukan
hissiyah (inderawi). Adapun secara hissi (inderawi), Dia gaib dari
dirimu. Karenanya, keimanan kepada Allah l termasuk iman pada hal yang
gaib, yang membutuhkan tanda & dalil yang menunjukkan atas
wujudullah (keberadaan Allah l). (Syarhu Tsalatsatil Ushul, Asy-Syaikh
Al-’Allamah Muhammad Aman Al-Jami t, hal. 45)
Hikmah dari mencermati & mengamati segenap ciptaan Allah l, selain
bisa memicu rasa ingin tahu anak, juga bisa diarahkan utk menumbuhkan
keimanan kepada Allah l. Membangun kesadaran bahwa di balik semua
ciptaan ini, ada yang mengatur, menjaga, memelihara & menghidupi,
yaitu Allah k.
Katakan pula kepada anak, bahwa Allah l mencipta & mengatur setiap
orang berbeda-beda. Tunjukkan karunia & nikmat yang telah dia
rasakan. Ini sebagai upaya menumbuhsuburkan rasa syukur pada diri sang
anak. Sikap syukur yang tertanam dlm diri anak diharapkan akan memupus
sikap tamak, rakus. Memudahkan utk menumbuhkan sikap mau berbagi,
membantu & menolong teman, dgn izin Allah l. Dengan sikap syukur ini
pula diharap makin mendekatkan anak kepada Allah l & memupuk jiwa
tawadhu’ (rendah hati) & tak takabur.
Perlihatkan pula kepada anak sederetan pedagang yang menjual barang
dagangan yang sama. Masing-masing pedagang tak saling berebut pembeli
& tak saling mematikan pesaing antara pedagang yang satu dgn yang
lain. Mereka bersaing secara sehat. Masing-masing mereka mendapatkan
rizki sesuai kadar yang telah Allah l tentukan utk mereka. Subhanallah!
Sebuah fenomena yang memperkaya batin anak, mengasah kepekaannya &
menumbuhkan keimanan dlm aspek tauhid rububiyah. Yaitu, tauhid yang
menumbuhkan keyakinan bahwa sungguh Allah l itu Maha Pencipta, Maha
Pemberi rizki, yang menghidupkan, yang mematikan & mengatur alam
semesta ini. Dengan keyakinan semacam ini, anak tak perlu lagi risau,
hasad, iri atau benci bila melihat temannya mendapatkan sesuatu. Dia
berkeyakinan bahwa segala sesuatu itu telah ditentukan rizkinya oleh
Allah l. Maka, pupuslah segala macam hasad, iri, benci di dlm hatinya.
Kemudian terpancarlah dari diri anak akhlak nan mulia. Semua ini
didasari tauhid yang lurus, bersih dari segala noda kesyirikan. Ibarat
pohon, akarnya menghunjam kokoh ke dasar bumi, cabangnya menjulang
menggapai angkasa raya, daunnya rimbun lebat meneduhkan suasana, &
buahnya bermunculan di setiap musim. Allah l berfirman:
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan
kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh & cabangnya
(menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim
dgn seizin Rabbnya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu utk
manusia supaya mereka selalu ingat.” (Ibrahim: 24-25)
Demikianlah pohon keimanan. Pokok akarnya kokoh di dlm hati seorang
mukmin, secara ilmu & i’tiqad (keyakinan). Cabangnya berupa ucapan
yang baik, amal shalih, akhlak yang disukai, adab (kesantunan) yang baik
(yang mengarah) pada langit, yang senantiasa menapak ketinggian kepada
Allah l. Dari pohon itu mencuat amal-amal & perkataan-perkataan yang
membawa manfaat bagi seorang mukmin & yang lainnya. Itulah
syajaratul iman (pohon keimanan). Ini dinyatakan oleh Asy-Syaikh
Abdurrahman As-Sa’di t dlm Taisir Al-Karimirrahman (hal. 451).
Karenanya, pendidikan tauhid ini harus benar-benar mendapat perhatian.
Nabi Ya’qub q saat menjelang ajal menjemput masih tetap memerhatikan
masalah tauhid terhadap anak-anaknya. Ini dilukiskan dlm Al-Qur`an:
“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika
ia berkata kepada anak-anaknya: ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’
Mereka menjawab: ‘Kami akan menyembah Ilahmu & Ilah nenek moyangmu,
Ibrahim, Ismail & Ishaq, (yaitu) Ilah Yang Maha Esa & kami hanya
tunduk patuh kepada-Nya’.” (Al-Baqarah: 133)
Pendidikan anak lainnya yang ditekankan Rasulullah n adalah membaguskan
semangat anak utk beribadah kepada Allah l. Anak dihasung utk senantiasa
melatih diri beribadah. Hingga pada masanya, anak tumbuh dewasa,
dirinya telah memiliki kesadaran tinggi dlm menunaikan kewajiban ibadah.
Di antara perintah yang mengharuskan anak dididik utk menunaikan yang
wajib, seperti hadits dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari
kakeknya, dia berkata: Rasulullah n bersabda:
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ
وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِيْنَ وَفَرِّقُوا
بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Suruhlah anak-anak kalian menunaikan shalat kala mereka berusia tujuh
tahun, & pukullah mereka (bila meninggalkan shalat) kala usia mereka
sepuluh tahun, & pisahkanlah tempat tidur mereka.” (Sunan Abi Dawud
no. 495. Asy-Syaikh Al-Muhammad Nashiruddin Al-Albani t menyatakan
hadits ini hasan shahih.)
Yang dimaksud menyuruh anak-anak, meliputi anak laki-laki &
perempuan. Mereka hendaknya dididik bisa menegakkan shalat dgn memahami
syarat-syarat & rukun-rukunnya. Jika hingga usia sepuluh tahun tak
juga mau menegakkan shalat, maka pukullah dgn pukulan yang tak keras
& tak meninggalkan bekas, serta tak diperkenankan memukul wajah.
(Lihat ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, 2/114)
Untuk mengarahkan anak tekun dlm beribadah memerlukan pola yang
mendukung ke arah hal tersebut. Seperti, diperlukan keteladanan dari
orangtua & orang-orang di sekitar anak. Perilaku orangtua yang
‘berbicara’ itu lebih ampuh dari lisan yang berbicara. Anak akan
melakukan proses imitasi (meniru) dari apa yang diperbuat orangtuanya.
Syariat pun sangat tak membuka peluang terhadap orang yang hanya bisa
berbicara (menyuruh) namun dirinya tak melakukan apa yang dikatakannya.
Allah l berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tak kamu
perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (Ash-Shaff: 2-3)
Dengan demikian, keteladanan sangat mengedepankan aspek perilaku dlm bentuk tindakan nyata. Bukan sekadar berbicara tanpa aksi.
Pendukung lainnya yang diperlukan agar anak tekun beribadah adalah
mengondisikan lingkungan atau suasana ke arah hal itu. Manakala tiba
waktu shalat, maka seluruh anggota keluarga menyiapkan diri utk shalat.
Tak ada satu orang pun yang masih santai & tak menghiraukan seruan
utk shalat. Kalau ada anggota keluarga yang tak bisa memenuhi segera
seruan tersebut atau berhalangan, maka hal itu harus dijelaskan kepada
anak. Sehingga anak memahami sebagai hal yang dimaklumi secara syar’i.
Pendukung lainnya, seperti pemberian hadiah manakala mau beribadah
secara tekun, memberikan sanksi atau hukuman yang mendidik &
menimbulkan efek jera bagi anak yang malas beribadah, menghilangkan
hal-hal yang jadi penyebab anak malas ibadah, & lain-lain.
Pendidikan penting lainnya bagi anak yaitu membentuk kepribadian anak
yang beradab. Tahu etika, sopan santun. Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-’Utsaimin t, al-adab yaitu akhlak yang menjadikan manusia
santun (beretika) karenanya. Seperti, kemuliaan, keberanian, bagus
kepribadian, lapang dada, raut wajah yang berseri-seri, & lain-lain.
Jadi, al-adab adalah sebuah ungkapan tentang akhlak yang (bila)
seseorang menghiasi dirinya dgn akhlak tersebut akan menjadi terpuji
karenanya. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 2/979)
Saat seseorang berbicara tentang adab, maka sesungguhnya dia berbicara
masalah akhlak. Adab & akhlak, satu hal yang tak ada perbedaan
padanya. Akhlak terhadap Allah l adalah tak menyekutukan-Nya dgn sesuatu
pun. Mentauhidkan-Nya dlm rububiyah, uluhiyah, & asma wa shifat.
Seseorang yang berbuat syirik, senyatanya dia berbuat zalim yang besar.
Allah l berfirman:
“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Luqman: 13)
Akhlak seorang muslim terhadap Rasul-Nya n adalah tak lancang terhadap beliau n. Allah l berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah &
Rasul-Nya & bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, & janganlah kamu
berkata kepadanya dgn suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian
kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tak hapus (pahala) amalanmu
sedangkan kamu tak menyadari.” (Al-Hujurat: 1-2)
Diungkapkan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t bahwa ayat ini
meliputi kandungan adab terhadap Allah l & Rasulullah n.
Mengagungkan, menghormati, & memuliakannya. Allah l telah
memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dgn perkara keimanan
terhadap Allah l & Rasul-Nya n. Yaitu, menunaikan perintah-perintah
Allah l & menjauhi larangan-larangan-Nya. (Sehingga) menjadikannya
berjalan di belakang perintah-perintah Allah l & mengikuti Sunnah
Rasulullah n dlm seluruh urusan mereka. Sikap mereka tak mendahului
Allah l & Rasul-Nya n. Mereka tak berkata sampai beliau n berkata.
Mereka tak menyuruh sampai Rasulullah n memerintahkan. Maka, sungguh
inilah hakikat adab yang wajib terhadap Allah l & Rasul-Nya n, yang
merupakan bentuk kebahagiaan seorang hamba & keberuntungannya.
(Sedangkan apabila) bersikap melancanginya, dirimu akan meninggalkan
kebahagiaan yang abadi & kenikmatan yang langgeng. Dalam ayat ini
pun terkandung larangan yang keras mendahulukan perkataan (pendapat)
selain Rasulullah n di atas perkataan beliau n. Maka, sesungguhnya
tatkala telah terang Sunnah Rasulullah n, wajib utk mengikuti &
mendahulukannya atas selainnya. (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 889)
Selain mendidik adab terhadap Allah l & Rasul-Nya n, anak mesti pula
dididik utk memiliki adab terhadap sesama manusia. Dalam hal ini yang
utama sekali mendidik akhlak anak terhadap orangtuanya. Mendidik agar
anak berbuat baik kepada kedua orangtuanya, tak semata dgn memberikan
asupan ilmu. Lebih dari itu, hendaknya seorang anak diberi ruang yang
bebas utk membangun ikatan emosional dgn kedua orangtuanya, sekaligus
sebagai media mempraktikkan ilmu yang didapatnya. Melalui interaksi
& komunikasi yang sehat, diharapkan ikatan itu terbentuk sehingga
anak memiliki rasa kepedulian terhadap orangtuanya. Bisa saja seorang
anak memiliki ilmu yang cukup & paham tentang bagaimana harus birrul
walidain (berbuat baik) kepada kedua orangtuanya. Namun manakala ikatan
emosional ini tak dibangun & dibentuk sejak dini, jalinan kedekatan
dgn orangtua pun bisa mengalami hambatan. Anak akan merasa kesulitan
mengamalkan ilmu & pemahamannya. Kepekaannya menjadi tak tajam.
Kepeduliannya pun tumpul. Padahal Allah l berfirman:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dlm keadaan lemah yang
bertambah-tambah, & menyapihnya dlm dua tahun. Bersyukurlah
kepada-Ku & kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu.” (Luqman: 14)
Orangtua atau pendidik yang baik, akan senantiasa memerhatikan masalah
interaksi & komunikasi antara orangtua & anaknya. Mendidik bukan
semata mentransfer ilmu kepada anak. Lebih dari itu, bagaimana anak
tersebut mengamalkan ilmunya secara benar & berkesinambungan. Kerja
sama & komunikasi yang baik antara orangtua, anak, & pendidik,
di suatu lembaga pendidikan mutlak diperlukan. Karena anaknya sudah di
pesantren, lantas orangtua tak mau peduli kepada anaknya. Tak pernah
berkomunikasi & berinteraksi dgn sang anak. Ini adalah sikap tak
tepat. Begitu pula lembaga pendidikan di mana sang anak menimba ilmu,
bisa menjadi jembatan komunikasi antara orangtua & anak. Ini semua
sebagai upaya menyongsong pendidikan anak yang lebih baik. Allah l
berfirman:
“Dan tolong-menolonglah kamu dlm (mengerjakan) kebajikan & takwa.” (Al-Ma`idah: 2)
Hikmah yang bisa dipetik dari perintah mendidik anak utk shalat sejak
usia tujuh tahun yaitu adanya penanaman ilmu tentang shalat itu sendiri,
adanya proses pelatihan & pengondisian yang terus-menerus sehingga
ritual shalat menjadi proses ibadah yang melekat kokoh pada anak. Begitu
pula aspek pengamalan dlm masalah birrul walidain, selain penanaman
ilmu, perlu proses melatih, mengondisikan, mendekatkan, &
mengikatkan suasana emosional anak dgn orangtuanya. Kepedulian,
perhatian & kasih sayang orangtua kepada anak merupakan nutrisi bagi
‘kesehatan’ jiwa anak. Sehingga diharapkan anak mengalami tumbuh
kembang jiwa ke arah yang lebih baik. Lebih stabil secara emosional.
Matang dlm bersikap & dewasa dlm menghadapi masalah. Tidak
reaksioner, meletup-letup & kekanak-kanakan sehingga memperkeruh
masalah yang ada. Nas`alullah as-salamah wal ‘afiyah. Wallahu a’lam.
Sumber: www.asysyariah.com Majalah AsySyariah Edisi 043
Tidak ada komentar:
Posting Komentar